BCN Indonesia – Pada Selasa (27/7), Korea Utara dan Korea Selatan membuka kembali saluran telepon militer dan komunikasi diplomatik lainnya setelah mengalami hiatus selama 14 bulan, ketika Korut mengatakan pihaknya ingin memperbaiki hubungan secepat mungkin di tengah memburuknya krisis ekonomi.
Keputusan untuk membuka kembali saluran diplomasi ini difasilitasi serangkaian pertukaran surat sejak April antara Presiden Korsel Moon Jae-in dan pemimpin Korut Kim Jong Un. Demikian disampaikan kedua pemerintah pada Selasa, dikutip dari The New York Times, Kamis (29/7).
Kedua negara memilih membuka kembali komunikasi bertepatan dengan perayaan gencatan senjata yang mengakhiri Perang Korea pada 1953.
Korut memutus semua saluran komunikasi dengan Korsel pada Juni tahun lalu, di mana saat itu beralasan tidak perlu melanjutkan komunikasi dengan negara yang dianggap “musuh”. Sejak saat itu, Korut menolak mengangkat telepon ketika pejabat Korsel melakukan panggilan rutin di saluran telepon militer dan lainnya.
Beberapa hari setelah komunikasi terputus, hubungan kedua negara mencapai titik terendah dalam beberapa tahun terakhir ketika Korut mengebom kantor penghubung bersama antar-Korea di kota Kaesong, Korut, dekat perbatasan, di mana pejabat dari kedua negara memiliki kantor.
Pada Selasa pukul 10.00 waktu setempat, petugas jaga dari kedua negara yang ditembatkan di Panmunjom, yang disebut desa gencatan senjata di perbatasan antar-Korea, berbicara melalui telepon. Hal ini seperti disampaikan pemerintah Korsel.
Sementara itu secara terpisah militer Korsel mengatakan pihaknya membuka kembali saluran telepon langsung dan faks dengan Tentara Rakyat Korut.
“Kami harap restorasi saluran komunikasi Selatan-Utara memberikan kontribusi positif untuk meningkatkan dan mengembangkan hubungan bilateral,” jelas juru bicara Presiden Moon Jae-in, Park Soo-hyun.
Melaporkan pengumuman yang sama, kantor berita resmi Korut KCNA mengatakan “seluruh bangsa Korea ingin melihat hubungan Utara-Selatan pulih dari kemunduran dan stagnasi secepat mungkin.”
Hubungan kedua negara membaik pada 2018 ketika Presiden Moon dan Kim Jong Un bertemu tiga kali, meredakan ketegangan langka di Semenanjung Korea yang berlangsung bertahun-tahun yang dipicu oleh uji coba nuklir dan rudal jarak jauh Korut. Tetapi hubungan segera memburuk setelah KTT kedua Kim dengan mantan Presiden AS Donald Trump berakhir di Hanoi, Vietnam, pada awal 2019 tanpa kesepakatan bagaimana menghentikan program senjata nuklir Korut atau meringankan sanksi PBB pada Korut.
Setelah Kim kembali ke negaranya dengan tangan kosong, Korut menyalahkan Korsel. Pemerintah Korut memerintahkan komunikasi diputus dan kantor penghubung di Kaesong dihancurkan.
Namun pemerintahan Presiden Moon tetap berusaha mengajak Korut kembali ke meja perundingan. Salah satu prioritasnya adalah membuka kembali saluran komunikasi.
Korea Selatan telah lama menekankan pentingnya saluran telepon lintas batas untuk mencegah bentrokan yang tidak diinginkan antara kedua militer. Kedua negara juga menggunakan saluran tersebut untuk mengajukan dialog dan membahas bantuan kemanusiaan dan sikap damai lainnya, seperti mengatur reuni keluarga yang telah lama terpisah oleh Perang Korea.
Pemerintah Moon juga membantu memberlakukan undang-undang baru yang melarang pengiriman selebaran propaganda ke Korut. Korut sejak lama marah soal selebaran ini, yang biasanya menggambarkan Kim sebagai diktator kejam yang mempermainkan senjata nuklir. Korut menyebut pengiriman selebaran ini sebagai salah satu alasan pemutusan komunikasi tahun lalu.
Sumber: Merdeka.com